kupang proponsi mana jawabanya nusa tenggara timur
Kota Kupang adalah sebuah kotamadya dan sekaligus ibu kota provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Kotamadya ini adalah kota yang terbesar di pesisir Teluk Kupang, di bagian barat laut pulau Timor.
Sebagai kota terbesar di provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang dipenuhi oleh berbagai suku bangsa.
Suku yang signifikan jumlahnya di "Kota Kupang" adalah suku Timor, Rote, Sabu, Tionghoa, Flores dan sebagian kecil pendatang dari Jawa.
Luas wilayah Kota Kupang adalah 180,27 km² dengan jumlah penduduk sekitar 336.239 jiwa (2010). Daerah ini terbagi menjadi 6 kecamatan dan 50 kelurahan.
video kedua
Sejarah[sunting]
Nama Kupang[2] sebenarnya berasal dari nama seorang raja, yaitu Nai Kopan atau Lai Kopan, yang memerintah Kota Kupang sebelum bangsa Portugis datang ke Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1436, pulau Timor mempunyai 12 kota bandar namun tidak disebutkan namanya. Dugaan ini berdasarkan bahwa kota bandar tersebut terletak di pesisir pantai, dan salah satunya yang strategis menghadap ke Teluk Kupang. Daerah ini merupakan wilayah kekuasaan Raja Helong dan yang menjadi raja pada saat itu adalah Raja Koen Lai Bissi.
Pada tahun 1613, VOC yang berkedudukan di Batavia (Jakarta), mulai melakukan kegiatan perdagangannya di Nusa Tenggara Timur dengan mengirim 3 kapal yang dipimpin oleh Apolonius Scotte, menuju pulau Timor dan berlabuh di Teluk Kupang. Kedatangan rombongan VOC ini diterima oleh Raja Helong, yang sekaligus menawarkan sebidang tanah untuk keperluan markas VOC. Pada saat itu VOC belum memiliki kekuatan yang tetap di tanah Timor.
Pada tanggal 29 Desember 1645, seorang padri Portugis yang bernama Antonio de Sao Jacinto tiba di Kupang. Beliau mendapat tawaran yang sama dengan yang diterima VOC dari Raja Helong. Tawaran tersebut disambut baik oleh Antonio de Sao Jacinto dengan mendirikan sebuah benteng, namun kemudian benteng tersebut ditinggalkan karena terjadi perselisihan di antara mereka. VOC semakin menyadari pentingnya Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu kepentingan perdagangannya, sehingga pada tahun 1625 sampai dengan 1663, VOC melakukan perlawanan ke daerah kedudukan Portugis di pulau Solor dan dengan bantuan orang-orang Islam di Solor, Benteng Fort Henricus berhasil direbut oleh VOC.
Pada tahun 1653, VOC mendarat di Kupang dan berhasil merebut bekas benteng Portugis Fort Concordia, yang terletak di muara sungai Teluk Kupang di bawah pimpinan Kapten Johan Burger. Kedudukan VOC di Kupang langsung dipimpin oleh Openhofd J. van Der Heiden. Selama menguasai Kupang sejak tahun 1653 sampai dengan tahun 1810, VOC telah menempatkan sebanyak 38 Openhofd dan yang terakhir adalah Stoopkert, yang berkuasa sejak tahun 1808 sampai dengan tahun 1810.
Nama Lai Kopan kemudian disebut oleh Belanda sebagai Koepan dan dalam bahasa sehari-hari menjadi Kupang. Untuk pengamanan Kota Kupang, Belanda membentuk daerah penyangga di daerah sekitar Teluk Kupang dengan mendatangkan penduduk dari pulau Rote, Sabu dan Solor. Untuk meningkatkan pengamanan kota, maka pada tahun 23 April 1886, Residen Creeve menetapkan batas-batas kota yang diterbitkan pada Staatblad Nomor 171 tahun 1886. Oleh karena itu, tanggal 23 April 1886[3] ditetapkan sebagai tanggal lahir Kota Kupang.
Setelah Indonesia merdeka, melalui Surat Keputusan Gubernemen tanggal 6 Februari 1946, Kota Kupang diserahkan kepada Swapraja Kupang, yang kemudian dialihkan lagi statusnya pada tanggal 21 Oktober 1946 dengan bentuk Timor Elland Federatie atau Dewan Raja-Raja Timor dengan ketua H. A. A. Koroh, yang juga adalah Raja Amarasi[4].
Berdasarkan Surat Keputusan Swapraja Kupang Nomor 3 tahun 1946 tanggal 31 Mei 1946 dibentuk Raad Sementara Kupang dengan 30 anggota. Selanjutnya pada tahun 1949, Kota Kupang memperoleh status Haminte dengan wali kota pertamanya Th. J. Messakh. Pada tahun 1955 ketika menjelang Pemilu, dengan Surat Keputusan Mendagri Nomor PUD.5/16/46 tertanggal 22 Oktober 1955, Kota Kupang disamakan statusnya dengan wilayah kecamatan.
Pada tahun 1958 dengan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958, Provinsi Sunda Kecil dihapus dan dibentuk 3 daerah Swantara, yaitu Daerah Swantara Tk I Bali, Daerah Swantara Tk I Nusa Tenggara Barat dan Daerah Swantara Tk I Nusa Tengara Timur. Kemudian Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II (Kabupaten) yang antara lain Kabupaten Kupang. Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 17 Tahun 1969 tanggal 12 Mei 1969 dibentuk wilayah kecamatan yakni Kecamatan Kota Kupang.
Kecamatan Kota Kupang mengalami perkembangan pesat dari tahu ke tahun. Kemudian pada tahun 1978 Kecamatan Kota Kupang ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1978[5], yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 18 September 1978. Pada waktu itu Drs. Mesakh Amalo dilantik menjadi Walikota Administratif yang pertama dan kemudian diganti oleh Letkol Inf. Semuel Kristian Lerik pada tanggal 26 Mei 1986 sampai dengan perubahan status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang. Perkembangan Kota Administratif Kupang sangat pesat selama 18 tahun, baik di bidang fisik maupun non fisik.
Usulan rakyat dan Pemerintah Kota Admnistratif Kupang untuk merubah status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang disetujui oleh DPR RI dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang menjadi Undang-Undang pada tanggal 20 Maret 1996[6] dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia dan tertuang pada Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632 Tahun 1996. Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang diresmikan oleh Mendagri Mohammad Yogi S. M. pada tanggal 25 April 1996.
kupang yang Riang ( sebuah cerita pribadi )
written by Annisa Reswara on Wednesday, June 29, 2011
" Foto: www.umarsumedi.blogspot.com Teman, ini hanya sedikit cerita yang bisa saya bagikan hari ini. Mungkin cerita biasa yang sudah biasa pula kita jumpai dalam banyak sinetron. Tapi sungguh ini kenyataan. Hari ini, saya memanggil seorang tukang setrika....
Teman, ini hanya sedikit cerita yang bisa saya bagikan hari ini. Mungkin cerita biasa yang sudah biasa pula kita jumpai dalam banyak sinetron. Tapi sungguh ini kenyataan.
Hari ini, saya memanggil seorang tukang setrika. Orang-orang biasa memanggilnya Mbak Eni. Ada dua ember penuh baju-baju yang belum disetrika. Bukan karena saya malas, tapi karena tidak sempat (pembelaan) :D.
Ketika mbak Eni sedang menyeterika baju, iseng-iseng saya membuka obrolan dan bertanya tentang keluarganya. Mbak Eni memiliki sepasang anak kembar yang masih kecil, dan seorang anak lagi yang masih duduk di bangku SMP. Suaminya adalah seorang penjual kupang. Ingat, seorang penjual kupang, bukan lontong kupang. Daerah tempat tinggal saya adalah daerah penghasil kupang, cari saja di kota Sidoarjo tempat penghasil kupang, pasti ketemu saya. (kalo nggak nyasar).
Mbak Eni menceritakan tentang penghasilan suaminya yang (menurut saya) jauh dari kata cukup. Paling banyak, sehari suaminya hanya membawa uang Rp 30.000,-. Itu hasil menjual kupang dari pagi hingga sore. Dan kadang suaminya hanya membawa uang Rp 15.000,-. Belum lagi, mereka harus rugi, karena membuang kupang-kupang yang tidak laku dijual. Pernah suaminya meminta maaf pada mbak Eni karena hanya membawa uang sedikit setelah seharian berjualan kupang. Tapi mbak Eni berkata, dia tetap bersyukur. Karena dia percaya bahwa rejeki Allah yang mengaturnya.
Karena penghasilan suaminya yang jauh dari kata cukup itulah, mbak Eni membantu bekerja membanting tulang menjadi pembantu freelance. Yupz, sehari dia bisa bekerja di 6 rumah secara bergantian. Bisa menyeterika baju, mencuci baju, mengepel, atau membersihkan kamar mandi. Dan untuk perkerjaan-pekerjaan itu, dalam sehari dia hanya dibayar Rp 20.000,- per rumah .
Capek pasti.
Tapi yang sangat saya sukai dari mbak Eni adalah, dia selalu tersenyum. Entah apa yang ada dalam pikirannya atau dalam hatinya. Namun wajahnya selalu tersenyum. Ketika berbincang dengan saya tadi, dia juga memasang wajah dengan senyum yang berkilau, tidak tampak wajah sedih dan protes terhadap takdir yang harus dia jalani. Memiliki 3 anak dengan penghasilan yang nge-pas. Dia selalu bersyukur dengan apa yang dia dapatkan kemarin, hari ini, besok, dan seterusnya.
Demi ketiga anaknya, dia rela mengerjakan apapun asal itu khalal, meski harus berpindah-pindah rumah, dan mengerjakan seabrek pekerjaan rumah. Itulah orangtua, kasihnya sepanjang masa. Perawakannya kecil, tapi ketegarannya amat besar. Saya salut.
Memang rejeki Allah yang mengatur, bagaimana manusianya saja. Mau berusaha atau tidak. Bukankah Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu mau berusaha mengubahnya.
Pelajaran dari tulisan ini. Mari bersyukur. Kita yang selama ini suka mengeluh dengan pekerjaan dan rejeki yang kita miliki, coba diubah. Syukuri apa kita dapat. Jangan mengeluh. Ada rahasia di balik rahasi. Karena Allah selalu menyimpan sejuta kejutan di balik semua kejadian yang dihadapkan pada manusia. Tergantung bagaimana manusia menghadapinya.
“Karena hidup itu tentang apa dan bagaimana.”
Sebagai kota terbesar di provinsi Nusa Tenggara Timur, Kota Kupang dipenuhi oleh berbagai suku bangsa.
Suku yang signifikan jumlahnya di "Kota Kupang" adalah suku Timor, Rote, Sabu, Tionghoa, Flores dan sebagian kecil pendatang dari Jawa.
Luas wilayah Kota Kupang adalah 180,27 km² dengan jumlah penduduk sekitar 336.239 jiwa (2010). Daerah ini terbagi menjadi 6 kecamatan dan 50 kelurahan.
Nama Kupang[2] sebenarnya berasal dari nama seorang raja, yaitu Nai Kopan atau Lai Kopan, yang memerintah Kota Kupang sebelum bangsa Portugis datang ke Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 1436, pulau Timor mempunyai 12 kota bandar namun tidak disebutkan namanya. Dugaan ini berdasarkan bahwa kota bandar tersebut terletak di pesisir pantai, dan salah satunya yang strategis menghadap ke Teluk Kupang. Daerah ini merupakan wilayah kekuasaan Raja Helong dan yang menjadi raja pada saat itu adalah Raja Koen Lai Bissi.
Pada tahun 1613, VOC yang berkedudukan di Batavia (Jakarta), mulai melakukan kegiatan perdagangannya di Nusa Tenggara Timur dengan mengirim 3 kapal yang dipimpin oleh Apolonius Scotte, menuju pulau Timor dan berlabuh di Teluk Kupang. Kedatangan rombongan VOC ini diterima oleh Raja Helong, yang sekaligus menawarkan sebidang tanah untuk keperluan markas VOC. Pada saat itu VOC belum memiliki kekuatan yang tetap di tanah Timor.
Pada tanggal 29 Desember 1645, seorang padri Portugis yang bernama Antonio de Sao Jacinto tiba di Kupang. Beliau mendapat tawaran yang sama dengan yang diterima VOC dari Raja Helong. Tawaran tersebut disambut baik oleh Antonio de Sao Jacinto dengan mendirikan sebuah benteng, namun kemudian benteng tersebut ditinggalkan karena terjadi perselisihan di antara mereka. VOC semakin menyadari pentingnya Nusa Tenggara Timur sebagai salah satu kepentingan perdagangannya, sehingga pada tahun 1625 sampai dengan 1663, VOC melakukan perlawanan ke daerah kedudukan Portugis di pulau Solor dan dengan bantuan orang-orang Islam di Solor, Benteng Fort Henricus berhasil direbut oleh VOC.
Pada tahun 1653, VOC mendarat di Kupang dan berhasil merebut bekas benteng Portugis Fort Concordia, yang terletak di muara sungai Teluk Kupang di bawah pimpinan Kapten Johan Burger. Kedudukan VOC di Kupang langsung dipimpin oleh Openhofd J. van Der Heiden. Selama menguasai Kupang sejak tahun 1653 sampai dengan tahun 1810, VOC telah menempatkan sebanyak 38 Openhofd dan yang terakhir adalah Stoopkert, yang berkuasa sejak tahun 1808 sampai dengan tahun 1810.
Nama Lai Kopan kemudian disebut oleh Belanda sebagai Koepan dan dalam bahasa sehari-hari menjadi Kupang. Untuk pengamanan Kota Kupang, Belanda membentuk daerah penyangga di daerah sekitar Teluk Kupang dengan mendatangkan penduduk dari pulau Rote, Sabu dan Solor. Untuk meningkatkan pengamanan kota, maka pada tahun 23 April 1886, Residen Creeve menetapkan batas-batas kota yang diterbitkan pada Staatblad Nomor 171 tahun 1886. Oleh karena itu, tanggal 23 April 1886[3] ditetapkan sebagai tanggal lahir Kota Kupang.
Setelah Indonesia merdeka, melalui Surat Keputusan Gubernemen tanggal 6 Februari 1946, Kota Kupang diserahkan kepada Swapraja Kupang, yang kemudian dialihkan lagi statusnya pada tanggal 21 Oktober 1946 dengan bentuk Timor Elland Federatie atau Dewan Raja-Raja Timor dengan ketua H. A. A. Koroh, yang juga adalah Raja Amarasi[4].
Berdasarkan Surat Keputusan Swapraja Kupang Nomor 3 tahun 1946 tanggal 31 Mei 1946 dibentuk Raad Sementara Kupang dengan 30 anggota. Selanjutnya pada tahun 1949, Kota Kupang memperoleh status Haminte dengan wali kota pertamanya Th. J. Messakh. Pada tahun 1955 ketika menjelang Pemilu, dengan Surat Keputusan Mendagri Nomor PUD.5/16/46 tertanggal 22 Oktober 1955, Kota Kupang disamakan statusnya dengan wilayah kecamatan.
Pada tahun 1958 dengan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958, Provinsi Sunda Kecil dihapus dan dibentuk 3 daerah Swantara, yaitu Daerah Swantara Tk I Bali, Daerah Swantara Tk I Nusa Tenggara Barat dan Daerah Swantara Tk I Nusa Tengara Timur. Kemudian Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II (Kabupaten) yang antara lain Kabupaten Kupang. Dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 17 Tahun 1969 tanggal 12 Mei 1969 dibentuk wilayah kecamatan yakni Kecamatan Kota Kupang.
Kecamatan Kota Kupang mengalami perkembangan pesat dari tahu ke tahun. Kemudian pada tahun 1978 Kecamatan Kota Kupang ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1978[5], yang peresmiannya dilakukan pada tanggal 18 September 1978. Pada waktu itu Drs. Mesakh Amalo dilantik menjadi Walikota Administratif yang pertama dan kemudian diganti oleh Letkol Inf. Semuel Kristian Lerik pada tanggal 26 Mei 1986 sampai dengan perubahan status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang. Perkembangan Kota Administratif Kupang sangat pesat selama 18 tahun, baik di bidang fisik maupun non fisik.
Usulan rakyat dan Pemerintah Kota Admnistratif Kupang untuk merubah status menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang disetujui oleh DPR RI dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang menjadi Undang-Undang pada tanggal 20 Maret 1996[6] dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia dan tertuang pada Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632 Tahun 1996. Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang diresmikan oleh Mendagri Mohammad Yogi S. M. pada tanggal 25 April 1996.
kupang yang Riang ( sebuah cerita pribadi )
written by Annisa Reswara on Wednesday, June 29, 2011
" Foto: www.umarsumedi.blogspot.com Teman, ini hanya sedikit cerita yang bisa saya bagikan hari ini. Mungkin cerita biasa yang sudah biasa pula kita jumpai dalam banyak sinetron. Tapi sungguh ini kenyataan. Hari ini, saya memanggil seorang tukang setrika....
Teman, ini hanya sedikit cerita yang bisa saya bagikan hari ini. Mungkin cerita biasa yang sudah biasa pula kita jumpai dalam banyak sinetron. Tapi sungguh ini kenyataan.
Hari ini, saya memanggil seorang tukang setrika. Orang-orang biasa memanggilnya Mbak Eni. Ada dua ember penuh baju-baju yang belum disetrika. Bukan karena saya malas, tapi karena tidak sempat (pembelaan) :D.
Ketika mbak Eni sedang menyeterika baju, iseng-iseng saya membuka obrolan dan bertanya tentang keluarganya. Mbak Eni memiliki sepasang anak kembar yang masih kecil, dan seorang anak lagi yang masih duduk di bangku SMP. Suaminya adalah seorang penjual kupang. Ingat, seorang penjual kupang, bukan lontong kupang. Daerah tempat tinggal saya adalah daerah penghasil kupang, cari saja di kota Sidoarjo tempat penghasil kupang, pasti ketemu saya. (kalo nggak nyasar).
Mbak Eni menceritakan tentang penghasilan suaminya yang (menurut saya) jauh dari kata cukup. Paling banyak, sehari suaminya hanya membawa uang Rp 30.000,-. Itu hasil menjual kupang dari pagi hingga sore. Dan kadang suaminya hanya membawa uang Rp 15.000,-. Belum lagi, mereka harus rugi, karena membuang kupang-kupang yang tidak laku dijual. Pernah suaminya meminta maaf pada mbak Eni karena hanya membawa uang sedikit setelah seharian berjualan kupang. Tapi mbak Eni berkata, dia tetap bersyukur. Karena dia percaya bahwa rejeki Allah yang mengaturnya.
Karena penghasilan suaminya yang jauh dari kata cukup itulah, mbak Eni membantu bekerja membanting tulang menjadi pembantu freelance. Yupz, sehari dia bisa bekerja di 6 rumah secara bergantian. Bisa menyeterika baju, mencuci baju, mengepel, atau membersihkan kamar mandi. Dan untuk perkerjaan-pekerjaan itu, dalam sehari dia hanya dibayar Rp 20.000,- per rumah .
Capek pasti.
Tapi yang sangat saya sukai dari mbak Eni adalah, dia selalu tersenyum. Entah apa yang ada dalam pikirannya atau dalam hatinya. Namun wajahnya selalu tersenyum. Ketika berbincang dengan saya tadi, dia juga memasang wajah dengan senyum yang berkilau, tidak tampak wajah sedih dan protes terhadap takdir yang harus dia jalani. Memiliki 3 anak dengan penghasilan yang nge-pas. Dia selalu bersyukur dengan apa yang dia dapatkan kemarin, hari ini, besok, dan seterusnya.
Demi ketiga anaknya, dia rela mengerjakan apapun asal itu khalal, meski harus berpindah-pindah rumah, dan mengerjakan seabrek pekerjaan rumah. Itulah orangtua, kasihnya sepanjang masa. Perawakannya kecil, tapi ketegarannya amat besar. Saya salut.
Memang rejeki Allah yang mengatur, bagaimana manusianya saja. Mau berusaha atau tidak. Bukankah Allah SWT tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu mau berusaha mengubahnya.
Pelajaran dari tulisan ini. Mari bersyukur. Kita yang selama ini suka mengeluh dengan pekerjaan dan rejeki yang kita miliki, coba diubah. Syukuri apa kita dapat. Jangan mengeluh. Ada rahasia di balik rahasi. Karena Allah selalu menyimpan sejuta kejutan di balik semua kejadian yang dihadapkan pada manusia. Tergantung bagaimana manusia menghadapinya.
“Karena hidup itu tentang apa dan bagaimana.”