-->

malam pertama pengantin korea

Salah satu fase penting dalam kehidupan manusia setelah beranjak dewasa adalah pernikahan, saat dimana dua orang dari keluarga yang berbeda dipertemukan dan kemudian akan mengarungi bahtera rumah tangga bersama-sama, sepanjang hidup mereka. Karena fase ini adalah fase yang penting dalam kehidupan manusia –terutama yang melakukan pernikahan itun sendiri-, tidak heran jika banyak prosesi dan upacara yang terkait dengan pernikahan yang tentunya kental dengan latar belakang budaya tempat di mana kedua mempelai tadi berasal. Pernikahan di Korea lebih merupakan proses bergabungnya dua keluarga daripada dua individual (kedua mempelai) dan dikenal sebagai Taerye atau Ritual Besar.


Di Korea, dikenal ada dua macam prosesi pernikahan, satu dilakukan secara tradisional dan adat sesuai budaya Korea dan satu lagi dilakukan secara modern, mengadaptasi prosesi pernikahan ala Barat atau Western style. Dalam kesempatan kali ini saya kan bercerita lebih dahulu mengenai upacara pernikahan tradisional Korea dan prosesi pernikahan ala Barat akan dikisahkan pada kesempatan berikutnya.


Di Korea pada masa lalu ada semacam adat yang memisahkan pertemuan antara pria dan wanita sejak mereka mulai berusia tujuh tahun. Sehingga adalah hal yang umum pada masa itu jika saat pertama kalinya kedua calon pengantin bertatap muka adalah saat mereka berada di depan altar pada peresmian tali pernikahan antara keduanya. Lalu bagaimana dua orang yang bisa dibilang saling tidak mengenal ini bisa menikah?


Di sinilah peran dari ‘mak comblang’, atau mungkin lebih dikenal melalui istilah bahasa Inggris sebagai matchmaker. Pernikahan pada masa lalu umumnya dilakukan antar pihak keluarga, dan kedua calon pengantin ini tidak memiliki kekuasaan untuk menolak atau menentukan pernihakan mereka sendiri. Seorang matchmaker selain berfungsi sebagai perantara antara kedua keluarga ini juga sekaligus menjadi cenayang atau fortune teller untuk melihat kecocokan antara kedua pasangan dengan menghitung peruntungan dari masing-masing pihak, yang dikenal sebagai saju atau empat pilar dan dilihat dari tahun, bulan, tanggal dan jam kelahiran dari masing-masing calon mempelai hingga bagaimana peruntungan yang akan terjadi bila kedua mempelai ini disatukan. Proses ini dinamakan sebagai Kunghap. Jika penghitungan kunghap dirasakan baik, maka pernikahan bisa segera dilaksanakan dengan menentukan hari yang baik bagi upacara pernikahannya (napchae).
Keseluruhan proses perjodohan menggunakan perantaraan pihak ketiga (matchmaker) dan disetujui keluarga masing-masing ini dikenal sebagai chungmae. Sedangkan proses yang terjadi secara wajar dimana dua orang bertemu, saling jatuh cinta dan kemudian memutuskan untuk menikah tanpa bantuan matchmaker disebur sebagai yonae. Pada era modern seperti saat ini, proses chungmae juga tetap popular untuk dilakukan dengan perantaraan biro jodoh.


Kembali pada prosesi pernikahan tradisional Korea, beberapa hari sebelum upacara pernikahan dilangsungkan keluarga mempelai pria akan mengirimkan hadiah kepada keluarga mempelai wanita yang dikenal sebagai Napp’ae. Hadiah yang terdiri atas honseo -surat pernikahan, ch’aedan –dua kain berwarna biru dan merah untuk bahan pakaian yang melambangkan keseimbangan ala yin-yang, dan honsu –koleksi perhiasan untuk mempelai wanita dari calon mertuanya ini dikemas dalam sebuah kotak (ham) yang diantarkan teman-teman dekat mempelai pria. Proses penghantaran ham sendiri termasuk unik karena dilakukan malam hari dengan prosesi yang khusus pula.


Upacara pernikahan secara tradisional umumnya dilakukan di kediaman mempelai wanita atau lokasi yang memiliki halaman yang cukup luas. Upacara dimulai dengan kedua mempelai yang saling bertukar salam dengan saling membungkuk atau gyobaerye.

Prosesi ini untuk melambangkan janji dan komitmen oleh kedua mempelai untuk menjalani bahtera rumah tangga bersama-sama. Hal ini dilakukan oleh keduanya dengan berdiri saling berhadapan di antara sebuah meja pernikahan yang dipenuhi beragam benda-benda yang melambangkan harapan akan sebuah pernikahan yang langgeng, mulai dari benang berwarna merah dan biru, lilin, kacang merah, beras hingga sepasang bebek mandarin. Upacara kemudian dilanjutkan pada tahap hapgeunrye dimana keduanya akan minum dari sebuah cangkir yang sama, untuk melambangkan bahwa masing-masing merupakan separuh dari yang lain dan harus saling melengkapi untuk membentuk satu bagian yang utuh. Kemudian keduanya akan disandingkan untuk kemudian membungkuk hormat secara bersama-sama sebanyak tiga kali: satu untuk kedua pasangan orang tua, satu untuk para leluhur dan satu kali untuk para tamu. Mempelai pria kemudian melewatkan malam itu di rumah mempelai wanita.


Keesokan harinya, kedua mempelai pergi menemui orang tua mempelai pria. Pada kesempatan tersebut, orang tua mempelai pria kemudian akan melemparkan beberapa jenis makanan dan buah-buahan yang ditangkap kedua mempelai menggunakan bentangan kain. Jenis makanan dan buah-buahan yang dilemparkan orang tua mempelai pria melambangkan keinginan untuk mendapatkan cucu bagi orang tua dan tentunya anak bagi kedua pasangan yang baru menikah tersebut.


Itulah sekelumit prosesi upacara pernikahan secara tradisional dan adat di Korea. Untuk prosesi pernikahan yang mengadaptasi upacara ala Barat  akan diceritakan pada kesempatan berikutnya. Gamsahamnida. Annyonghi-geseyo.
Facebook CommentsShowHide