-->

komunitas tritunggal mahakudus

salam kenal semua artike ini di tulis oleh +Rinal Purba : baik kita kepokok judul

#
Profil KTM
Komunitas Tritunggal Mahakudus merupakan sekelompok umat yang bersama-sama ingin mencapai tujuan hidup kristiani dan berkembang secara maksimal. Tujuan hidup kristiani tersebut terdapat dalam Mrk. 12:30 “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, dan dengan segenap kekuatanmu.”
#
Tujuan Komunitas
- Murid-murid Kristus yang sejati, yang mengenal Allah secara pribadi dan yang menjadikan Yesus pusat hidup mereka.
- Orang-orang Katolik yang dewasa, yang dapat mempertanggungjawabkan imannya secara dewasa.
- Orang-orang Katolik yang penuh iman dan Roh Kudus, yang bersandar pada Sabda Allah dan terbuka terhadap karya dan karunia Roh Kudus dalam segala bentuknya.
- Saksi-saksi Kristus yang meyakinkan, yang dapat memberikan kesaksian tentang Yesus Kristus dalam lingkungan hidupnya masing-masing, sesuai dengan bakat dan karunia masing-masing.

adakah Cinta di dalam Pelayanan? oleh KTM

(Oleh : Sr. Maria Gertrudis, P.Karm.)

Waktu telah menunjukkan pukul 19:00, suasana di sebuah perkantoran telah sepi. Hanya beberapa karyawan terlihat masih sibuk menyelesaikan pekerjaan hariannya. Nadya termasuk di antara mereka yang masih berada di kantor. Tidak seperti biasanya, Nadya pulang kantor jauh malam, terlihat pula pada raut wajahnya garis-garis kesedihan bagaikan ada suatu beban yang ingin ditumpahkan. Namun, Nadya tak tahu kepada siapa ia harus menceritakan semuanya ini?

Tiba-tiba, handphonenya berbunyi. Dengan malas, diraihnya dan dilihat nama yang tertera dalam handphone itu. Ah.. sms dari Dodi. Tanpa membacanya terlebih dahulu, ia langsung menghapuskannya.

Apa yang menyebabkan Nadya berubah? Tak lain disebabkan peristiwa satu bulan lalu. Peristiwa yang takkan pernah dilupakan dalam kehidupannya, bisik hatinya. Tiba-tiba peristiwa itu kembali dalam ingatannya. Pertunjukkan yang batal ditampilkan oleh kelompok seni dramanya tanpa penjelasan. Pembatalan yang dilakukan oleh sepihak telah merusak persiapan dan kerja keras yang dilakukan berbulan-bulan. Nadya bertanya dalam hatinya: Siapakah yang tidak kecewa, kesal, sedih, marah atas peristiwa menyebalkan ini? Sungguh sebuah kekecewaan,
kemarahan, kekesalan semuanya menjadi satu. Nadya merasa waktunya terbuang dengan sia-sia. Kini, ia memilih menutup dirinya dari segala macam kegiatan-kegiatan yang berkonotasi ‘bersama’. Ia lebih suka menyendiri
akhir-akhir ini.

Kisah di atas hanyalah sepenggal kisah kehidupan bersama yang mau tidak mau akan terjadi pada diri semua orang. Hal menyenangkan maupun hal tidak menyenangkan dapat datang silih berganti dalam peristiwa apapun. Dalam kisah di atas, Nadya mengalami hal yang tidak menyenangkan dan membuatnya mengalami kesedihan,
kekecewaan, dan penderitaan lainnya akibat orang lain. Mungkin saja kekecewaan Nadya juga terjadi pada diri kita?

Secara manusiawi dalam kehidupan ini, kita kadang-kadang merasa letih, sedih, dan kecewa atas berbagai harapan kita yang tak terjadi. Akan tetapi, hendaknya kesedihan itu jangan sampai memudarkan pandangan mata kita untuk melihat terang cahaya di balik setiap peristiwa itu, bahkan terpuruk lebih dalam lagi. Kita perlu mengingat apa yang dikatakan oleh St. Paulus, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” (Rm. 8:28) Lebih jauh
lagi dalam kisah dua murid di jalan menuju Emaus. Kita melihat kesedihan mereka sampai berkata, “Kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Akan tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi.” (Luk. 24:21) Kristus melalui penampakan-Nya kepada kedua murid di jalan menuju Emaus, mengungkapkan dengan jelas bagaimana misteri kematian dan kehidupan, salib dan kebangkitan menjadi kunci harapan. Kehadiran-Nya yang penuh cinta mampu mengubah kesedihan dua murid di Emaus ini.

Jika kita menelaah lebih jauh lagi, episode dua murid di Emaus ini sebenarnya mengingatkan kita akan realitas yang menggembirakan dalam pengalaman hidup kita yakni tanda kehadiran Kristus yang bangkit dan tidak pernah berakhir dalam umat-Nya. Kehadiran itu menjadi hidup dan nyata di dalam dan di antara setiap pribadi, di dalam karya pelayanan, di dalam orang-orang miskin, di dalam apapun yang kita perbuat.

Inilah kunci untuk membuka pintu hal-hal yang tidak menyenangkan: keletihan, kesedihan, kekecewaan yaitu mengalami kasih yang hidup. Apakah yang tidak dapat diungkapkan dengan kasih? Dalam kasih, hati dapat berdamai dengan dirinya sendiri dan bersatu kembali dengan dirinya sendiri.

Pada saat hal-hal tidak menyenangkan terjadi, kita perlu mendengar kembali bahkan mengarisbawahi ungkapan dari seorang kudus besar abad ini yakni, St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Ungkapan yang merupakan kekayaan hidup
rohaninya, “Segala-galanya adalah rahmat, dimulai dari langkah pertama hingga akhirnya.” Inilah kompas dalam perjalanan hidup St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Kompas yang diungkapkan oleh St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus ini, tak lain merupakan interprestasi dari sabda Yesus sendiri dalam perumpamaan pokok
anggur dan ranting-ranting-Nya, “Di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa.”

(Yoh. 15:5)

Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, St. Paulus menegaskan, “Allahlah yang memberikan kepada kita baik kemauan maupun pekerjaan.” (Bdk. Flp 2:13) Sekarang kita tahu bahwa tanpa rahmat Allah kita tidak dapat melakukan satu hal pun yang baik ataupun menghendaki yang baik untuk kita kerjakan.

Cinta dibangun oleh Sabda Yesus

Kita telah mengetahui bahwa untuk menghendaki yang baik kita memerlukan rahmat. Caranya dengan memohon kepada Allah untuk memberikan kepada kita rahmat itu. Salah satu rahmat yang kita butuhkan yaitu cinta. Cinta adalah perekat yang menyatukan berbagai kehidupan. Cinta bagaikan dasar dalam suatu bangunan.
Apabila dasar itu tidak ada maka bangunan tersebut akan hancur (Bdk. Mat. 7:24-27). Iman kristiani menekankan kesatuan cinta Allah dan cinta sesama, dan kebutuhan yang sangat akan keduanya untuk menjadi bagian dari keberadaan kita.

Dasar cinta kristiani berpusat di dalam kesatuan dengan Kristus dan membawa semangat-Nya, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh. 15:12-13)

Cinta juga membutuhkan suatu komitmen yang teguh di mana kita berani memberikan waktu untuk mencintai Allah sebagai balasan atas kasih-Nya dalam doa, kegiatan rohani maupun sosial, dan sebagainya. Tepatlah apa yang dikatakan oleh Beata Teresa dari Kalkuta, “Karya-karya yang baik terkait satu sama lain hingga membentuk sebuah rantai cinta.”

Sebagai murid Yesus, kita perlu mengikuti apa yang diteladankan oleh sang Guru. Inilah cinta yang dibangun oleh sabda Yesus, “Mencintai sebagaimana Yesus mencintai” berarti menyerahkan nyawa untuk sahabat-sahabat dan dengan penuh semangat mencintai mereka yang bukan sahabat (Bdk. Luk. 6:27-29).

Dipanggil untuk Hidup Bersama

Kenyataan hidup sehari-hari menunjukkan bahwa banyak persahabatan tidak bertahan lama, orang yang saling mencinta tidak dapat bertahan dalam hubungan cinta mereka, banyak keluarga hancur dan pecah, komunitas-komunitas tidak pernah bebas dari krisis-krisis hubungan antar anggota, alangkah rapuhnya hubungan antar
manusia. Sebuah pertanyaan yang harusnya ada bagi kita sebagai murid Kristus yang dipanggil untuk hidup bersama, “Apa artinya mencintai orang lain?”

Orang akan sulit untuk mendefinisikan arti cinta sesungguhnya. Sebabnya dalam dunia ini betapa sulitnya menemukan cinta yang sesungguhnya. Ungkapan yang seringkali kita dengar, “Mencintai adalah pekerjaan berat!” Dalam masyarakat kita, cinta dinyanyikan, ditulis menjadi sebuah kisah, dibicarakan sebagai cita-cita indah yang didambakan semua orang. Kita hanya dapat mengartikan cinta merupakan suatu tindakan atau perbuatan dan bukannya suatu perasaan. Hal ini berarti, seandainya kita mencintai sekaligus menghendaki kebaikan orang yang
kita cintai.

“Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.” (1Yoh. 4:19) Karena Allah lebih dahulu mengasihi kita, maka kita dijadikan mampu untuk mengasihi. Oleh karena itu segala sesuatu dapat kita lakukan dalam kasih. Allah mencintai kita dengan kasih yang tanpa batas. Allah juga memanggil kita untuk menjadi saksi akan cinta-Nya. Mencintai berarti mewujudkan cinta Allah yang tanpa batas, dalam persatuan hidup dengan orang lain.

Salah satu sisi paling indah hidup bersama ialah bahwa di dalamnya selalu terjadi tindakan memberi dan menerima. Setiap orang yang sudah benar-benar menghayati hidup bersama akan berkata, “Saya menerima sama banyak dengan yang saya berikan.”

Bila segala sesuatu kita lakukan dalam kasih dan dengan kasih, semuanya mendapatkan nilai keabadian dan berkenan kepada Allah. St. Theresia dari Kanak-kanak Yesus mengatakan, “Apabila kita hanya memungut sebatang jarum yang
jatuh saja, tetapi dengan kasih, itu sudah mendapat nilai keabadian.”

Menjadi Saksi Cinta Allah yang Hidup
Semua relasi manusiawi, entah antara orang tua dengan anak, suami dengan istri, antar sahabat, antar warga komunitas, semestinya menjadi tanda cinta Allah kepada umat manusia. Yesus berkata, “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian, semua orang akan
tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh. 13:34-35) Bagaimana Yesus mencintai kita? Yesus berkata, “Seperti Bapa mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu.” (Yoh. 15:9) Cinta Yesus kepada kita adalah wujud utuh cinta Allah kepada kita, karena Yesus dan Bapa adalah satu. Ia berkata, “Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak Aku katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya. Percayalah kepada-Ku, bahwa Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku.” (Yoh. 14:10-11)

Di sini, Yesus mau menyatakan bahwa kita dipanggil oleh Allah untuk menjadi saksi hidup bagi kasih Allah. Kita menjadi saksi seperti itu dengan mengikuti Yesus dan saling mengasihi, seperti Ia mengasihi kita. Ibu Teresa dari Kalkuta merupakan salah satu contoh dalam zaman kita yang melaksanakan cinta secara heroik. Dalam seluruh hidupnya, Ibu Teresa dari Kalkuta mengabdikan untuk melayani orang-orang yang paling miskin di antara yang miskin. Ia mengatakan: “Tuhan selalu memberi perhatian terhadap cinta kita.

Sesungguhnya tidak seorang
pun dari antara kita yang dikecualikan. Tuhan memiliki cara tersendiri untuk melakukan segalanya dan untuk membinasakan apa pun hasil kemampuan manusia yang tertinggi. Kita bisa saja bekerja sampai suatu saat kita tidak sanggup lagi. Kita juga dapat bekerja hingga berlebihan. Namun, bila yang kita lakukan itu tidak dikaitkan dengan cinta, maka seluruh pekerjaan kita tidak akan berguna di mata Tuhan.”

Cinta di dalam Penderitaan
Mencintai berarti menuju persatuan, mengarah, dan memperbanyak usaha untuk bersatu dengan yang dicintai melalui tindakan memberikan diri, menyangkal diri supaya tidak ada sesuatupun yang menghalangi untuk mencintai. Maka, mencintai menuntut suatu pengurbanan! Pengurbanan ini dapat berupa hal menyenangkan maupun hal tidak menyenangkan, misalnya penderitaan, kecewa, sedih, malu, dan sebagainya. Bagi seseorang yang mencintai penderitaan yang dialami adalah madu yang manis untuk sampai kepada persatuan cintakasih yang sempurna.

St. Yohanes dari Salib mengatakan, “Kasih yang sejati berarti mau menjadi serupa dengan yang dikasihi. Karena yang dikasihi itu sekaligus adalah yang disalibkan, maka mereka pun tidak lepas dari salib.” St. Paulus mengatakan hal yang senada: “Semuanya itu kuanggap sebagai sampah demi Yesus Kristus. Yang kukehendaki adalah mengenal penderitaan-Nya dan kuasa kebangkitan-Nya, untuk menggenapkan apa yang kurang dari penderitaan Kristus.” (Lih. Flp. 3:8, 10; Kol. 1:24)

Jelaslah bahwa cinta terkait dengan eratnya bahkan tidak terlepas dari penderitaan. Inilah risiko yang harus diambil bagi orang yang mencintai, bukan demi penderitaan itu sendiri melainkan kita telah diperkenankan untuk ambil
bagian di dalam penderitaan Kristus.

PENUTUP
Kiranya jelas bahwa dalam hidup ini kita akan selalu dihadapkan pada 2 hal, yaitu hal menyenangkan yang mendatangkan sukacita dan kegembiraan, dan hal yang tidak menyenangkan yang mendatangkan penderitaan. Pada kisah di atas, kegagalan membuat Nadya takut untuk melangkah. Sebagai seorang kristen sejati, kita dituntut untuk berani bangkit dari setiap penderitaan dan bukannya terpuruk. Baik kita mendengarkan ungkapan yang seringkali kita dengar, “Kegagalan merupakan sebuah rahmat yang tertunda”. St. Paulus mengatakan, “Janganlah
hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” (Rm. 12:11)

Setiap penderitaan jika disatukan dengan salib Kristus memiliki arti lebih bagi keselamatan jiwa kita. Marilah bersama-sama, kita meletakkan seluruh dasar bangunan dalam pelayanan apapun yang kita kerjakan dengan semangat cinta, sambil tak lupa mengucap syukur atas apa yang Dia percayakan untuk kita lakukan. “Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” (Kol. 3:17)

Sharing :
    * Bagaimana sikap Anda jika suatu saat ada peristiwa yang tidak menyenangkan terjadi pada diri Anda? Apa yang biasanya Anda lakukan? Lebih-lebih jika itu berkaitan dengan sesama yang mengecewakan hati Anda? Sharingkanlah pengalaman Anda dalam sel
    * Mencintai berarti mau berkurban. Bagaimana Anda menghayati hal mencintai ini? Sudahkah Anda mencintai dengan hati tulus dan tanpa mengharapkan sesuatu?Sharingkanlah pengalaman Anda dalam usaha mencintai seperti Yesus.

 demikian semoga bermakna

Facebook CommentsShowHide