-->

tradisi lempar nasi

Pesta sedekah bumi Pelemsari diwarnai lempar nasi

Sumber-Untuk melestarikan budaya dan tradisi masyarakat agar tidak punah, Warga desa Pelemsari, kecamatan Sumber, rabu kemarin, menggelar tradisi sedekah bumi. Kegiatan tahunan itu dilaksanakan di Sendang Enyah.

Kepala desa Pelemsari-Surinto mengatakan, digelarnya sedekah bumi di desanya  itu sebagai wujud syukur warga kepada Tuhan atas limpahan panenan padi, jagung, tebu dan hasil bumi lainnya pada tahun ini.

Surinto mengungkapkan, kegiatan sedekah bumi yang dilaksanakan di desa Pelemsari berbeda dengan desa lainnya karena jajanan  yang dibawa warga seperti ketan, tape dan dumbeg dikumpulkan secara terpisah untuk dimakan  bersama saat pentas kethoprak di balai desa, Sedangkan nasinya dikumpulkan untuk pesta tawur sego (lempar nasi).

Sementara itu menurut Mujayadi salah satu peserta pelempar nasi menuturkan walaupun di dalam tawur sego saling beradu lemparan, namun sesudah tradisi berakhir tak ada rasa dendam.

Sementara itu Sipan-warga Palemsari  mengutarakan,nasi yang sudah tidak terpakai  di bawa pulang untuk makan bebek atau ayam di rumah. Dipercaya  ternaknya sehat dan tidak terserang penyakit. 

Selain itu kegiatan sedekah bumi kali ini dimeriahkan dengan hiburan dangdut dan kethoprak di balai desa setempat.

tRADISI PERANG NASI ALA DESA BLIMBING
*Sempat Ditiadakan,Kembali Digelar Setelah Kasus Bunuh Diri Meningkat
Warga Desa Blimbing Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri punya tradisi unik yang digelar tiap bulan Besar pada penanggalan Jawa. Tradisi itu berupa gemplang - gemplangan (saling lempar) nasi sayur yang dibungkus dengan daun pisang. Tradisi yang merupakan puncak acara bersih desa dan berlangsung puluhan tahun itu diwarnai unsur mistis
--------------------
      Ratusan warga Desa Blimbing Kecamatan Gurah memenuhi ruas jalan yang berjarak sekitar 100 meter arah selatan dari balai desa setempat. Warga yang kebanyakan kaum lelaki itu berkumpul di bawah sebuah tenda warna merah dan biru yang terpasang di tengah jalan. Tepat ditengah kerumunan warga,terlihat tumpukan nasi yang dibungkus daun pisang. Panjang tumpukan nasi itu mencapai 6 meter dengan jumlah lebih dari 3.000 bungkus.
      Sore itu memang digelar puncak acara bersih desa yang biasa dilakukan setiap bulan Besar dalam kalender Jawa. Puncak acara berupa tradisi gemplang - gemplangan yang ditunggu - tunggu oleh warga.
      Setelah pemandu acara memberi aba - aba,sontak ratusan warga menyerbu tumpukan nasi yang bercampur sayur pepaya. Mereka kemudian saling melempar nasi satu sama lain. Tak ayal,suasana jalan desa menjadi tak ubahnya ajang tawuran. Nasi dan daun pisang yang digunakan sebagai pembungkus berseliweran diatas kepala. Tidak sedikit warga yang basah kuyup karena tersiram kuah sayur papaya. Banyak pula warga yang kebanyakan anak - anak hingga pria dewasa terkena lemparan nasi,hingga tubuh dan baju yang dipakai menjadi kotor. Namun tidak ada suasana emosional. Warga justru tampak ceria mengikuti tradisi itu
      Toni (13) mengungkapkan,dirinya mulai ikut tradisi gemplang - gemplangan di desanya sejak masih duduk di bangku kelas 1 SD. Meski sewaktu pulang dalam kondisi kotor akibat terkena nasi dan tumpahan sayur,orangtuanya tidak pernah marah. “Saya senang ikut acara ini. Orangtua juga tidak melarang,”katanya.
      Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi gemplang - gemplangan itu berlangsung. Seorang warga,Tamsirin (63) mengatakan,sejak ia masih kecil,tradisi itu telah digelar. Konon,tradisi itu menggambarkan kehidupan dari danyang (penunggu) desa setempat. “Warga percaya,danyang desa ini perempuan dan punya banyak anak. Setiap kali makan,anak - anaknya berebut nasi yang sudah disiapkan,”ujarnya.
      Sebagai sebuah tradisi kuno yang dijalankan sejak lama,tradisi gemplang - gemplangan sarat dengan nuansa mistis. Hal ini terlihat saat para peserta mulai saling lempar nasi dan kuah sayur. Meski sayur yang dipakai terasa pedas,namun para peserta tidak merasakan kesakitan saat terkena. Selain itu,gerakan peserta dalam tradisi itu juga diyakini digerakkan oleh kekuatan gaib. “Meskipun kena mata tapi tidak terasa perih. Seperti ada kegaiban yang ikut dalam tradisi ini,”imbuh Tamsirin.
      Tidak hanya itu,kentalnya nuansa mistis membuat warga tidak pernah lalai menggelar tradisi itu tiap tahun. Apalagi terdapat sebuah kenyataan yang dipercaya oleh warga setempat sebagai balak apabila tradisi itu tidak dilakukan.
      Hal itu terjadi sekitar tahun 1967 lalu. Saat itu,kepala desa yang sedang menjabat memutuskan mengganti tradisi dengan acara lain yang dianggap lebih santun ketimbang tradisi gemplang - gemplangan. Meski sempat ditentang warga,sang kepala desa tetap menjalankan keputusan mengganti tradisi itu.
      Akibatnya fatal. Beberapa waktu setelah acara baru digelar,peristiwa demi peristiwa bunuh diri terjadi di desa itu. Beberapa warga yang sebelumnya diketahui tidak ada masalah,tiba - tiba nekat mengakhiri hidupnya dengan cara menjatuhkan diri ke dalam sumur. Tidak hanya warga biasa,perangkat desa juga tidak lepas dari peristiwa yang dianggap balak tersebut. Salah satu perangkat desa juga nekat menghabisi nyawanya sendiri. Tragisnya,perangkat desa itu mengajak serta istrinya saat menjatuhkan diri ke dalam sumur di rumahnya.
      Wargapun gempar. Mereka menuntut tradisi gemplang - gemplangan dikembalikan seperti sedia kala. Kepala desa kala itu akhirnya menyerah dan kembali menggelar tradisi gemplang - gemplangan. “Sejak saat itu hingga sekarang,tidak ada lagi yang berani mengubah tradisi ini,”tambah Tamsirin.
      Benar tidaknya keyakinan warga itu tentunya tidak ada yang memastikan. Namun,pihak pemerintah desa saat ini berusaha melestarikan tradisi tersebut sebagai peninggalan leluhur. Kepala Desa Blimbing.,Supriyanto mengatakan,tradisi gemplang - gemplangan sengaja dilestarikan karena merupakan warisan budaya yang dipegang teguh masyarakat setempat sejak dahulu kala. Apalagi,warga terlanjur meyakini adanya nuansa mistis dalam tradisi itu. Warga juga mau berkorban demi terselenggaranya acara itu dengan menyumbangkan nasi yang akan dijadikan bahan lemparan. “Sebagai perangkat,kami mengikuti kehendak masyarakat. Kalau memang ingin menggelar tradisi ya kami menggelarnya. Apalagi tradisi ini kan warisan nenek moyang sehingga patut untuk dilestarikan,”katanya.
      Supriyanto tidak memungkiri,aparatnya juga merasa khawatir jika balak kembali turun apabila tradisi itu tidak digelar sebagaimana keyakinan masyarakat. Perangkat desa tidak mau disalahkan,jika balak itu kembali terulang. “Keyakinan warga seperti itu. Kalau ternyata benar,siapa yang bertanggungjawab jika terjadi balak,”tambahnya.
      Meski demikian,perangkat desa setempat berupaya agar nuansa mistis itu bisa berkurang. Caranya,dengan menggabungkan tradisi gemplang - gemplangan menjadi satu paket dengan acara bersih desa lainnya,berupa pertunjukkan tayub,doa bersama dan pengajian akbar. Acara bersih desa dibungkus sedemikian rupa,sehingga kebersamaan warga dapat lebih meningkat. “Intinya acara ini untuk menambah kebersamaan masyarakat. Tidak kalah pentingnya,dalam doa bersama kami berharap agar desa ini semakin aman dan sejahtera,jauh dari balak maupun hal buruk lainnya,”pungkas Supriyanto.
Facebook CommentsShowHide