kepemimpinan transformasional menurut para ahli
menurut Burns ;
Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi.
Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan.
Hater dan Bass (1988)
menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong
personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going
beyond the self-interest exchange of rewards for compliance"
menurut Yukl
kepemimpinan transformasional dapat dilihat dari tingginya komitmen, motivasi dan kepercayaan bawahan sehingga melihat tujuan organisasi yang ingin dicapai lebih dari sekedar kepentingan pribadinya.
Kepemimpinan transaksional menurut Metcalfe (2000) pemimpin transaksional harus memiliki informasi yang jelas tentang apa yang dibutuhkan dan diinginkan bawahannya dan harus memberikan balikan yang konstruktif untuk mempertahankan bawahan pada tugasnya. Pada hubungan transaksional, pemimpin menjanjikan dan memberikan penghargaan kepada bawahannya yang berkinerja baik, serta mengancam dan mendisiplinkan bawahannya yang berkinerja buruk.
Bernard M. Bass
mengemukakan kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan di mana pemimpin menentukan apa yang harus dikerjakan oleh karyawan agar mereka dapat mencapai tujuan mereka sendiri atau organisasi dan membantu karyawan agar memperoleh kepercayaan dalam mengerjakan tugas tersebut.
Kepemimpinan transaksional menurut Bass memiliki karakteristik sebagai berikut :[3]
a. Contingent reward
Kontrak pertukaran penghargaan untuk usaha, penghargaan yang dijanjikan untuk kinerja yang baik, mengakui pencapaian.
b. Active management by exception
Melihat dan mencari penyimpangan dari aturan atau standar, mengambil tindakan perbaikan.
c. Pasive management by exception
Intervensi hanya jika standar tidak tercapai.
d. Laissez-faire
Melepaskan tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan.
McFarlan (1978) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses dimana pimpinan dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Pfiffner (1980) kepemimpinan adalah seni mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Istilah transformasional berinduk dari kata to transform, yang bermakna mentransformasikan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda. Misalnya, mengubah energi potensial menjadi energi aktual atau motif berprestasi menjadi prestasi riil. Jadi, seorang kepala sekolah bisa disebut menerapkan kaidah kepemimpinan transformasional, jika dia mampu mengubah sumber daya baik manusia, instrumen, maupun situasi untuk mencapai tujuan-tujuan reformasi sekolah.
Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan.[5] Sumber daya yang dimaksud yaitu sumber daya manusia seperti pimpinan, staf, bawahan, tenaga ahli, guru, dosen, peneliti, dan lain-lain.
Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional ini, Leithwood, dkk (1999) mengemukakan :[6]
Transformational leadership is seen to be sensitive to organization building, developing shared vision, distributing leadership and building school culture necessary to current restructuring efforts in schools.
Kepemimpinan transformasional menggiring SDM yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangam visi secara bersama, pendistribusian kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi sekolah yang menjadi keharusan dalam skema restrukturisasi sekolah.
Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional.
Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi.
Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan.
Hater dan Bass (1988)
menyatakan bahwa "the dynamic of transformational leadership involve strong
personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going
beyond the self-interest exchange of rewards for compliance"
menurut Yukl
kepemimpinan transformasional dapat dilihat dari tingginya komitmen, motivasi dan kepercayaan bawahan sehingga melihat tujuan organisasi yang ingin dicapai lebih dari sekedar kepentingan pribadinya.
Kepemimpinan transaksional menurut Metcalfe (2000) pemimpin transaksional harus memiliki informasi yang jelas tentang apa yang dibutuhkan dan diinginkan bawahannya dan harus memberikan balikan yang konstruktif untuk mempertahankan bawahan pada tugasnya. Pada hubungan transaksional, pemimpin menjanjikan dan memberikan penghargaan kepada bawahannya yang berkinerja baik, serta mengancam dan mendisiplinkan bawahannya yang berkinerja buruk.
Bernard M. Bass
mengemukakan kepemimpinan transaksional adalah kepemimpinan di mana pemimpin menentukan apa yang harus dikerjakan oleh karyawan agar mereka dapat mencapai tujuan mereka sendiri atau organisasi dan membantu karyawan agar memperoleh kepercayaan dalam mengerjakan tugas tersebut.
Kepemimpinan transaksional menurut Bass memiliki karakteristik sebagai berikut :[3]
a. Contingent reward
Kontrak pertukaran penghargaan untuk usaha, penghargaan yang dijanjikan untuk kinerja yang baik, mengakui pencapaian.
b. Active management by exception
Melihat dan mencari penyimpangan dari aturan atau standar, mengambil tindakan perbaikan.
c. Pasive management by exception
Intervensi hanya jika standar tidak tercapai.
d. Laissez-faire
Melepaskan tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan.
McFarlan (1978) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses dimana pimpinan dilukiskan akan memberi perintah atau pengaruh, bimbingan atau proses mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menurut Pfiffner (1980) kepemimpinan adalah seni mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Istilah transformasional berinduk dari kata to transform, yang bermakna mentransformasikan atau mengubah sesuatu menjadi bentuk lain yang berbeda. Misalnya, mengubah energi potensial menjadi energi aktual atau motif berprestasi menjadi prestasi riil. Jadi, seorang kepala sekolah bisa disebut menerapkan kaidah kepemimpinan transformasional, jika dia mampu mengubah sumber daya baik manusia, instrumen, maupun situasi untuk mencapai tujuan-tujuan reformasi sekolah.
Kepemimpinan transformasional adalah kemampuan seorang pemimpin dalam bekerja dengan dan atau melalui orang lain untuk mentransformasikan secara optimal sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang bermakna sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan.[5] Sumber daya yang dimaksud yaitu sumber daya manusia seperti pimpinan, staf, bawahan, tenaga ahli, guru, dosen, peneliti, dan lain-lain.
Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional ini, Leithwood, dkk (1999) mengemukakan :[6]
Transformational leadership is seen to be sensitive to organization building, developing shared vision, distributing leadership and building school culture necessary to current restructuring efforts in schools.
Kepemimpinan transformasional menggiring SDM yang dipimpin ke arah tumbuhnya sensitivitas pembinaan dan pengembangan organisasi, pengembangam visi secara bersama, pendistribusian kewenangan kepemimpinan, dan membangun kultur organisasi sekolah yang menjadi keharusan dalam skema restrukturisasi sekolah.